Setapak

        Gema adzan subuh mengusik tidur nyenyakku pagi ini.  Jika hari-hari biasanya aku akan memilih untuk menutup telingaku dengan bantal dan menarik selimutku lalu melanjutkan tidur, berbeda dengan pagi ini. Aku segera menyingkap selimutku, milipatnya menjadi bentuk persegi panjang lalu bergegas mengambil wudu dan menunaikan kewajibanku.

        Seperti yang telah aku,  Reza, Rivan, dan Dina rencanakan kemarin,  bahwa hari ini kami akan pergi mendaki.  Segala keperluanku telah aku siapkan semalam. Namun,  seperti sudah kebiasaanku.  Aku akan memeriksa kembali barang barang yang akan kubawa dua hingga tiga kali sebelum aku pergi. Sudah seperti itupun terkadang masih ada barang yang lupa kubawa. Aku ini memang ceroboh .  Aku tidak ingin ada barang yang tertinggal dalam pendakian pertamaku ini, aku ingin segalanya sempurna seperti yang telah aku rencanakan.

        Selesai memeriksa   barang yang akan kubawa,untuk yang ketiga kalinya. Aku segera mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu,  lalu memasuki kamar mandi. Seusai mandi,aku bersiap-siap dan mempercantik diri.  Selain barang bawaan yang lengkap, tentunya aku juga harus tampil menarik dalam pendakian pertamaku ini.

        Tepat pukul sembilan pagi, sebuah Avansa berwarna hitam memasuki pekarangan kontrakanku. Klakson mobil itu berbunyi dua kali seakan memberi isyarat kepadaku untuk keluar.  Setelah saling memberi salam dan membalas senyum, aku menaiki mobil milik Dina yang dikendarai oleh Rivan  tersebut. 

        Perjalanan kami menuju gunung Lawu terasa sangat menggembirakan. Ditemani dengan celoteh Dina yang seakan tak memiliki jeda,  banyolan-banyolan dari Reza yang terkadang mengejek Dina, juga Revan yang terkadang menyahuti obrolan kami sambil menyetir.  Sangat membahagiakan. 

        Tak terasa enam jam perjalanan telah kami lalui.  Jalan yang tidak terlalu mulus membuat pinggangku terasa sepeeti hampir patah. Iya, itu memang hiperbola, tapi aku tidak berbohong bahwa pinggangku memang sakit. Sesampainya dipos pertama pendakian yang umumnya disebut sebagai basecamb, kami segera menunaikan sholat Ashar berjamaan dan dilanjutkan dengan makan sore.

        Tepat pukul tujuh malam kami memulai pendakian. Ditemani dengan senter ditangan kami, kami berjalan pelan sambil menggendong tas masing-masing. Saat ini pendakian terasa mudah. Tenaga kami masih terisi penuh. Pendakian kami depenuhi dengan obrolan obrolan dan lawakan ringan. Kanan dan kiri terdapat banyak kebun sayur mayur. 

        Pendakian ini terdiri dari lima pos. Tiga pos telah kami lalui,  tenaga kami mulai terkikis. Waktu juga telah menunjukkan lewat tengah malam.  Suara dan tawa kami tak terdengar lagi,  digantikan dengan hembusan nafas yang terdegar kasar menandakan kelelahan.  Sebentar lagi pos empat. Kanan kiri sudah mulai curam dan tidak ada tanaman lagi. Kaki kami telah beberapa kali terpeleset, dan jika tidak hati-hati, mungkin salah satu atau justru lebih dari kami sudah tergelincir ke jurang.

        Dita tampak sangat kelelahan, peluhnya mengalir deras. Sesungguhnya akupun kelelahan, namun aku tak ingin menambah kecemasan mereka yang sudah mulai khawatir pada Dita.  Kami berhenti di pos empat.  Beristirahat sejenak untuk mengembalikan tenaga.  Setelah berhenti  selama hampir satu setengah jam, kami menutuskan untuk melanjutkan pendakian.  Sebenarnya kami aku,  Revan, dan Reza sudah menyuruh Dita untuk tetap tinggal di pos emat saja jika memang tidak  kuat.  Namun, Dita menolak dan mengatakan jika dia tidak apa-apa dan sanggup melanjutkan pendakian.

        Medan menuju pos 5 ternyata lebih curam. Kanan kiri kami benar benar jurang saat ini.  Jalan yang kami lalui pun benar-benar setapak dan hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Selum sampai setengah perjalanan dari pos empat, Dita sudah mengatakan bahwa dia tidak sanggup lagi. Kami menawarkan dita untuk kembali ke post empat dan beristirahat di sana saja.  Namun, lagi-lagi Dita menolak, ia meminta istirahat sejenak dan mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.  Dua puluh menit kami beristirahat, Dita sudah terlihat lebih baik sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. 

        Lima belas menit berlalu, Dita tiba-tiba berteriak kesakitan. Dia jatuh terduduk  tepat di jalan setapak ini,  untung saja. Jika tidak, mungkin Dita sudah terjatuh ke jurang.  Kaki Dita kram, dia terus mengeluh kesakitan sambil menangis. Dari kami berempat hanya rtevan yang penah mendaki,  itu pun baru sekali dan tidak ada kejadian seperti ini. Yang lain? Ini pengalaman pertama kami.

        Tiba-tiba Revan menyuruhku untuk menyerahkan P3K yang harus ku bawa.  Aku menggeledah tasku dan mencari barang yang diminta Revan. Tidak ada.  Sengatku kotak putih berisi obat- obatan itu sudah aku masukkan ke dalam tas. Aku sudah mempersiapkannya dari semalam,  tepat setelah Revan memerintahku untuk membawa P3K.  Tapi dimana kotak putih itu? kenapa tidak ada di dalam tasku?

        Dengan penuh rasa takut dan bersalah aku mengatakan pada Revan bahwa aku lupa membawa P3K yang iya suruh. Aku benci kecerobohanku yang mebuatku menderita di saat - saat gawat seperti ini.  Aku kasihan pada Dita,  juga takut pada Revan dan Reza. Mereka memarahiku atas kecerobohanku. Aku tahu ini memang salahku, aku memang cerobo. Tapi aku tidak melakukan itu dengan sengaja. Aku, Revan dan Reza bersitegang karena kasus kotak P3K yang lupa kubawa.  Hingga tiba-tiba tangis keras Dita menghentikan perselisihan kami.  Dita meminta maaf karena ia merasa menyusahkan kami,  harusnya kami bisa malanjutkan perjalanan jika Dita tidak sakit.  Harusnya  tepat pada waktu fajar tanggal 28 Oktober nanti kami bisa mengibarkan bendera merah putih di puncak Gunung Lawu ini. Namun, karena Dita sakit kami gagal mengibarkan bendera di Hari Sumpah Pemuda. Dita menangis menyesal, ia berfikir dirinya yang menggagalkan semuanya.

        Kami tertunduk, meratapi nasib kami. Rencana kami untuk mengibarkan bendera merah putih tepat di waktu fajar terbit tanggal 28 Oktober ini terancam gagal.  Terancam.  Itu baru terancam, berarti masih ada kemungkinan untuk tidak gagal. Aku memotivasi mereka untuk bangkit, menemukan solusi untuk melanjutkan perjalanan.  Kami harus saling membantu bukan saling menyalahkan atau menangis.  Kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan kondisi Dita  yang tidak mampu berjalan. Duta digendong di punggung  oleh Reza. Aku bertugas membawa tas Dita, sedangkan Revan bertugas membawa tas Reza. 

        Perjalanan kami sangatlah lambat dikarenakan tenaga kami yang kian habis namun beban bawaan kami yang semakin bertambah. Kaki yang terpeleset pun seakan sudah terjadi pada setiap langkah kami. Namun, hal itu tidak membuat kami berhenti, malah mebuat kami saling mengingatkan untuk berhati-hati dan menjaga kekompakan

        Akhirnya kami sampai di pos lima, tepat pukul Setengah tiga pagi. Kami beristirahat sambil mengobati kaki Dita, dibantu oleh petugas yang berjaga di posko. Tepat setelah memunaikan ibadah Subuh, kami berempat melanjutkant perjalanan menuju puncak. Jalan menuju puncak dari pos lima ini ltidak terasa begitu berat. Sepancang perjalanan kami ditemani oleh rombongan pendaki yang lain.  Kami saling berkenalan dan bercanda untuk menghilangkan lelah.

        Kami sampai di puncak saat waktu menunjukkan hampir pukul setengah enam pagi. Meski waktu sudah dapat dikatakan terlambat untuk menyambut matahari terbit, namun bukan berarti pendakian kami gagal. Kami segera mengibarkan bendera merah putih di puncak Gunung Lawu, disambut dengan lagu indonesia raya yang dinyanyikan oleh seluruh orang yang berada di puncak. Hari ini, tepat tanggal 28 oktober yaitu hari Sumpah Pemuda. Kami, pemuda Indonesia telah membuktikan, bahwa yang terpenting dari sebuah perjuangan adalah kebersamaan,  saling membantu dan mengasihi. Tanpa adanya persatuan mungkin dahulu Indonesia tak akan merdeka,selayaknya kami yang jika tidak saling membantu mungkin tak akan pernah bisa sampai di puncak ini.  Aku bahagia, karena pendakian pertamaku ini penuh dengan rintangan,  yang menjadikanku kuat dan mengerti arti kebersamaan.  Aku berjanji untuk menyusuri puncak Indonesia lain, dan menemukan pelajaran berharga dari setiap langkahku di jalan setapak yang aku lalui menuju puncak.


Oleh: Amanda Khoirun Nisa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPMA Gelar Diksar Kedua di Masa Pandemi

Lembaga FOKEP Hadir Kembali Dalam Bentuk Wahana

Mengenal Bapak Iqbal Tuasikal Pendiri KOPMA UIN Sunan Kalijaga