Resensi Buku Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api

Sumber gambar: Google

Identitas Buku

Judul            : Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api

Penerbit      : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan       : Pertama, Oktober 2016

                        Kedua, November 2017

Tebal            : x + 152 halaman

Sinopsis

        Buku ini  menceritakan berbagai sisi kehidupan sang tokoh dan juga pandangan dari orang-orang di sekitarnya. Buku ini mengungkap kehidupan Chairil Anwar dengan lengkap, mulai dari kehidupan  masa kecilnya di Medan, kepindahannya ke Jakarta, inspirasinya dalam menulis hingga peristiwa kematiannya. 

        Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 . Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes bin Manam dan Siti Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager. Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi keluar sebelum lulus.

        Setelah perceraian orang tuanya pada tahun 1942, Chairil bersama ibunya pindah ke Jakarta dan mulai mengenal dunia sastra. Yang membuat Chairil Anwar bersinar adalah kemampuannya dalam melahirkan karya yang tidak sekadar memotret dan menggelorakan jiwa perjuangan kemerdekaan RI, namun juga kemampuannya dalam mengolah bahasa Indonesia, yang pada saat itu belum semaju sekarang. Kegilaan Chairil terhadap buku sastra dunia dan perjuangannya mencari kata, diksi, bentuk dan isi terbaik dalam lirik-lirik puisinya membuat karyanya menjadi unggul dan berbeda dari karya-karya Angkatan Pujangga Baru saat itu.

        Mengenai puisi-puisi perjuangannya, ia tidak hanya merenung dan berimajinasi di balik meja saja, melainkan terlibat langsung dalam pertempuran yang kemudian dituangkannya ke dalam sajak. Hal ini dapat dilihat dari salah satu puisinya yang berjudul “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku” dan “Diponegoro”. Selain puisi perjuangan, ada juga puisi-puisi cinta yang terinspirasi dari beberapa perempuan yang pernah singgah dihidupnya.

        Chairil Anwar meninggal pada tanggal 28 April 1949, karena penyakit tifus, infeksi dan usus pecah. Chairil dimakamkan di Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Chairil mati muda pada usia 27 tahun dan sejarah akan terus mencatat, ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Mati muda telah mengekalkan imajinasi dirinya selaku pemberontak terhadap adat-istiadat, nilai, dan kemapanan Pujangga Baru. Walau telah tiada, sampai hari ini Chairil adalah sebuah inspirasi. Inspirasi tentang bagaimana seorang pengarang menciptakan karakter bahasa yang mampu menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus, bahasa pengacara dan bahasa preman sekaligus.

Kelebihan

Buku ini dapat di jadikan contoh untuk orang yang ingin menjadi seorang penyair dan ingin mengetahui kehidupan salah satu penyair di Indonesia.

Kekurangan

dalam buku ini terdapat keburukan sang penyair yang tidak pantas di contoh.


Oleh: Anggia Pramesti

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KOPMA Gelar Diksar Kedua di Masa Pandemi

Lembaga FOKEP Hadir Kembali Dalam Bentuk Wahana

Mengenal Bapak Iqbal Tuasikal Pendiri KOPMA UIN Sunan Kalijaga